1upmonitor.com – PT Sri Rejeki Isman Tbk, yang lebih dikenal sebagai Sritex, merupakan salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia. Sejak didirikan pada tahun 1978, Sritex telah berkembang menjadi produsen tekstil dan garmen terkemuka dengan jangkauan pasar internasional. Namun, perjalanan panjang perusahaan ini tidak terlepas dari berbagai tantangan, terutama dalam beberapa tahun terakhir.
Sejarah dan Perkembangan Sritex
Awal Berdiri dan Ekspansi
Sritex memulai operasinya sebagai produsen tekstil lokal di Indonesia. Dengan fokus pada kualitas dan inovasi, perusahaan ini berhasil memperluas bisnisnya ke pasar global. Pada tahun 2020, Sritex mencatat penjualan hampir $1,3 miliar dengan keuntungan bersih sebesar $85 juta. Perusahaan ini juga menjalin kerja sama dengan merek-merek ternama seperti Uniqlo dan H&M, menjadikannya salah satu eksportir utama dengan penjualan luar negeri mencapai $762 juta pada tahun yang sama.
Struktur Produksi Terintegrasi
Sebagai perusahaan tekstil terintegrasi terbesar di Asia Tenggara, Sritex memiliki empat divisi produksi utama:
-
Pemintalan (Spinning): Mengubah serat menjadi benang dengan kapasitas produksi mencapai 1.405 bale per tahun.
-
Penenunan (Weaving): Menghasilkan kain mentah (greige) dengan kapasitas produksi 229.766 meter per tahun.
-
Penyelesaian (Finishing): Memproses kain menjadi produk jadi dengan kapasitas produksi 306.358 yard kain dicelup dan dicetak per tahun.
-
Garmen: Memproduksi pakaian jadi dengan kapasitas produksi 30.000.035 potong per tahun.
Tantangan Finansial dan Kebangkrutan
Dampak Pandemi dan Restrukturisasi Utang
Pandemi COVID-19 memberikan dampak signifikan terhadap industri tekstil global, termasuk Sritex. Permintaan yang menurun dan gangguan rantai pasok menyebabkan tekanan finansial bagi perusahaan. Pada tahun 2021, Sritex memulai proses restrukturisasi utang yang diawasi, mengkonsolidasikan berbagai kewajiban dan merundingkan rencana pembayaran dengan kreditur.
Putusan Pengadilan dan Kebangkrutan
Meskipun upaya restrukturisasi telah dilakukan, pada Oktober 2024, Pengadilan Niaga Semarang menyatakan Sritex bangkrut karena gagal memenuhi kewajiban utangnya kepada PT Indo Bharat Rayon (IBR). Putusan ini kemudian diperkuat oleh Mahkamah Agung pada Desember 2024, menandai titik kritis bagi raksasa tekstil ini.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Ketenagakerjaan dan Reaksi Serikat Buruh
Sritex merupakan sumber aktivitas ekonomi utama di Jawa Tengah dan dilaporkan mempekerjakan sekitar 50.000 pekerja. Angka ini kemungkinan mencakup dampak pada pemasok, grosir, dan lainnya.
Kebangkrutan perusahaan ini memicu kekhawatiran akan potensi PHK massal. Serikat buruh mendesak pemerintah untuk memberikan bailout guna mencegah hilangnya pekerjaan dalam skala besar.
Respons Pemerintah
Presiden Prabowo Subianto, yang baru saja menjabat, menginstruksikan kabinetnya untuk mencari solusi guna menyelamatkan Sritex dari kebangkrutan. Pemerintah sedang mengeksplorasi langkah-langkah yang tepat untuk memastikan operasi perusahaan tetap berjalan dan menghindari PHK massal.
Warisan Budaya: Tumurun Private Museum
Selain kontribusinya di sektor tekstil, keluarga pendiri Sritex juga mendirikan Tumurun Private Museum di Surakarta, Jawa Tengah. Museum ini menampilkan sekitar seratus karya seni modern dan kontemporer dari koleksi pribadi keluarga Lukminto, termasuk karya seniman ternama seperti Basuki Abdullah dan Affandi.